bjb KPR General_Media Online_Media Online
news-details
Seni

Rumah Adat Sunda, Konsep Mitigasi Gempa Peninggalan Karuhun

BERITABAIK.ID - Indonesia terkenal akan adat dan budaya yang begitu beragam. Setiap suku yang tersebar di antara Sabang hingga Merauke memiliki kekayaan budaya mereka tersendiri, mulai dari bahasa, alat musik, tari, hingga rumah adat.

Kekayaan ini juga tidak terkecuali dengan masyarakat Sunda. Tanah Parahyangan membuat Sunda memiliki daya tarik yang khas. Sejak zaman dahulu, sudah banyak adat dan budaya yang diwariskan dari para karuhun atau leluhur beratus tahun lamanya.

Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah rumah tradisional yang dimiliki masyarakat Sunda, bangunan yang tampak seperti rumah panggung ini ternyata memiliki banyak makna dan manfaat.

Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang mencolok antara rumah adat sunda dengan rumah adat lainnya di Indonesia. Mengutip dari laman Gramedia, yang membedakan setiap rumah adat biasanya adalah pada pondasinya.

Rumah adat sunda memang memiliki bentuk dan nama yang beragam. Namun, secara tradisional rumah adat ini memiliki bentuk hunian panggung dengan ketinggian 0,5–1 meter dari permukaan tanah. Bentuk dari pondasi rumah adat yang berupa rumah panggung ini kemudian berfungsi sebagai penanggulangan bencana banjir atau gempa bumi.

Sementara pada bagian kolong rumah akan kemudian dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan peralatan tani serta stok kayu bakat atau suluh. Kolong rumah juga kerap digunakan sebagai tempat memelihara ternak seperti ayam, entok, dan bebek.

Secara keseluruhan pondasi rumah seperti ini memiliki sifat dari alam dan lingkungan penuh yang penuh dengan kesederhanaan. Sehingga jenis rumah ini akan sangat layak sebagai rumah hijau perkotaan.

Konsep Mitigasi Gempa Bumi

Beberapa waktu lalu daerah Jawa Barat diguncang gempa di beberapa titik. Padahal ternyata, membangun rumah di tanah rawan gempa telah membuat leluhur masyarakat Sunda berpikir untuk menciptakan konsep arsitektur bangunan yang lebih tahan terhadap bencana gempa.

Ini juga yang disampaikan oleh Pemerhati Budaya Sunda dari Lembaga Adat Karatuan Padjadjaran, dikutip dari laman media Universitas Padjadjaran (UNPAD). Rd. Ir. Roza Rahmadjasa Mintaredja, M.Ars. mengatakan bahwa nenek moyang Sunda sudah paham mitigasi gempa.

Hal ini bisa dilihat dari arsitektur masyarakat zaman dahulu yang biasanya dirancang dengan bahan dasar batu, kayu, dan bambu. Sementara, kelebihan dari penggunaan bambu adalah memiliki daya lentur.

Menurut Roza, bambu tidak akan digunakan menjadi bahan baangunan kecuali karena pengetahuan nenek moyang yang mengerti akan mitigasi terhadap bencana gempa.

“Kita bisa melihat bahwa jaman bihari nenek moyang kita sudah paham akan gempa dan sudah mitigasi terhadap gempa itu dengan bangunan-bangunan konstruksi arsitektur yang tahan gempa sampai 9 atau 10 skala richter,” kata Roza

Indonesia termasuk ke dalam kawasan zona cincin api (ring of fire) dengan jumlah 140 gunung berapi dan pertemuan antara lempeng Sunda dan lempeng Australia. Wilayah ini rawan mengalami gempa vulkanik maupun tektonik.

Roza mengungkapkan, tinggal di zona cincin api, harusnya membuat masyarakat memiliki mitigasi bencana secara serius.

“Gempa-gempa itu mengakibatkan bencana yang tidak bisa kita anggap remeh karena bangunannya yang tidak sesuai dengan antisipasi gempa,” ujar Roza.

Dia berharap masyarakat sekarang bisa mengikuti jejak para leluhur untuk memiliki banguan yang lebih tahan terhadap gempa. Roza pun menilai bahwa bambu adalah bahan untuk masa depan.

“Jangan sembarangan kita membuat rumah itu. Karena rumah bambu itu dianggap rumah kampungan, orang-orang ada yang malu memakai rumah bambu. padahal justru itu yang paling ramah terhadap lingkungan dan ramah terhadap gempa. Jadi gempa itu bisa diantisipasi,” pungkasnya.

Editor : Nadiana Tsamratul Fuadah

Jebolan Poltekpar NHI Bandung Sukses Buka Usaha Restoran Indonesia di Dubai

Film Dr. Samsi Tahun 1952 Direstorasi, Karya Sutradara Perempuan Pertama Indonesia