bjb KPR General_Media Online_Media Online
news-details
cerita
(dok. Kemenparekraf)

Kapal Pinisi, Peninggalan Nenek Moyang yang Jadi Warisan Budaya Dunia

BERITABAIK.ID - Indonesia memiliki sejarah kemaritiman yang panjang. Lagu “Nenek moyangku seorang pelaut” ternyata tidak berlebihan, apalagi untuk masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini bisa dilihat dari eksistensi kapal pinisi di Indonesia.

Menurut historis, kapal ini sudah berlayar di perairan Nusantara sejak abad 1500-an. Pada masa-masa itu, kapal-kapal kayu pinisi diisi oleh para pelaut Konjo, Bugis, dan Mandar asal Sulawesi Selatan untuk membawa rempah-rempah dan tekstil khas Nusantara melewati rute perdagangan kuno.

Dari segi fisik, kapal pinisi sangat mudah dikenali di perairan. Mengutip dari laman Kemenparekraf, ciri khas tersebut bisa dilihat dari penggunaan 7-8 layar, serta 2 tiang utama pada bagian di depan dan belakang kapal. Umumnya ada empat jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat kapal pinisi, yakni kayu besi, kayu bitti, kayu kandole/punaga, dan kayu jati.

Arsitektur yang bisa dilihat saat ini adalah kombinasi unik dari konstruksi budaya Bugis-Makassar dan kapal Eropa dan Amerika modern dari awal abad ke-19. Para pembangun kapal di Sulawesi akan membutuhkan waktu lama untuk membuat kapal di pantai. Selain kemahiran tangan yang metodis, prosesnya juga dipandu oleh berbagai macam ritual yang tidak sembarangan.

Itu sebabnya, rangkaian pembuatan kapal pinisi melambangkan nilai filosofi tersendiri, yakni nilai untuk bekerja keras, kerja sama, keindahan, hingga menghargai alam. Tidak heran jika akhirnya pada Desember 2017, UNESCO mengakui kapal layar kerajinan tangan Sulawesi Selatan sebagai ‘Warisan Budaya Takbenda’.

Proses pembuatan kapal pinisi terbagi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, para perakit kapal perlu penentuan hari baik untuk mencari kayu. Biasanya, “hari baik” mencari kayu jatuh pada hari ke-5 atau ke-7 pada bulan pembuatan kapal. Pemilihan hari ini melambangkan rezeki yang ada di tangan.

Tahap kedua pembuatan kapal pinisi masuk ke proses menebang, mengeringkan, dan memotong kayu. Kayu-kayu tersebut kemudian dirakit menjadi setiap bagian kapal pinisi. Tahap kedua inilah yang memakan waktu paling lama, bahkan bisa hingga berbulan-bulan.

Di tahap terakhir barulah dilakukan peluncuran kapal pinisi ke laut. Namun, sebelum diluncurkan, biasanya diadakan upacara maccera lopi, atau menyucikan kapal pinisi. Pada upacara ini juga dilakukan kegiatan menyembelih sapi atau kambing. Dengan perhitungan, jika bobot kapal kurang dari 100 ton, maka yang disembelih adalah kambing, sedangkan kalau di atas 100 ton berarti sapi yang akan disembelih.

Penamaan pinisi pada jenis kapal ini tidak diketahui secara jelas asal-usulnya. Namun, jika melihat ke situs Kemdikbud, terdapat dua teori mengenai hal ini. Teori pertama menyatakan bahwa pinisi berasal dari kata Venecia, sebuah kota pelabuhan di Italia.

Kemudian karena dialek Konjo, Vencia berubah penyebutan menjadi penisi, selanjutnya seiring berjalannya waktu mengalami proses fonetik menjadi pinisi. Pengambilan nama kota tersebut diperkirakan karena kebiasaan orang Bugis Makassar mengabadikan nama tempat terkenal atau mempunyai kesan istimewa kepada benda kesayangannya, termasuk perahu.

Sementara teori kedua berpendapat bahwa nama pinisi berasal dari kata panisi yang memiliki arti sisip. Mappanisi (menyisip) yaitu menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air.

Dugaan tersebut berdasar pada pendapat yang menyatakan bahwa orang Bugis yang pertama menggunakan perahu pinisi. Lopi dipanisi' (Bugis) artinya perahu yang disisip. Diduga dari kata pinisi mengalami proses fonetik hingga menjadi pinisi.

Saat ini, pembuatan kapal pinisi masih bisa dilihat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tepatnya berada di tiga desa, yaitu Desa Tana Beru, Bira, dan Batu Licin. Pembuatannya pun masih menjunjung cara-cara tradisional.

Kalau dulunya kapal pinisi kerap digunakan nenek moyang suku Bugis untuk berdagang, saat ini kapal pinisi bisa dinikmati untuk jadi daya tarik di berbagai destinasi wisata Indonesia. Kapal ini hadir untuk kunjungan wisata di Kepulauan Raja Ampat, Labuan Bajo, dan Danau Toba. Terbaru, kapal ini juga hadir di Batam, Kepulauan Riau, sebagai layanan wisata mancanegara, terutama Singapura dan Malaysia.

Editor : Nadiana Tsamratul Fuadah

Mengenal Prinsip Kaizen: Menjadi Pribadi yang Lebih Baik dari Hari Kemarin

Keren! Mahasiswa Ilmu Hukum UNESA Juarai Kompetisi Menyanyi Internasional, Kalahkan Turki Hingga AS