bjb KPR General_Media Online_Media Online
news-details
Seni
Sebagian tampilan layar dalam pameran Parabhose di Selasar Sunaryo Art Space.

Belajar Tentang Lingkungan lewat Pameran Seni 'Parabhose'

 

BERITABAIK.ID - Ada pameran seni media baru (new media) di Selasar Sunaryo Art Space. Bertajuk ‘Parabhose’, pameran ini menampilkan karya eksperimental dengan pendekatan video mapping yang mengangkat tema lingkungan.

Pameran ini bermula dari karya Tugas Akhir Ady Setyawan di Program Magister Desain, Fakultas Seni Rupa & Desain Institut Teknologi Bandung. Setyawan pada dasarnya merancang kampanye kesadaran publik melalui karya eksperimental berbentuk video mapping interaktif yang memancing pengunjung untuk berpartisipasi.

Melalui pendekatan ini, kesadaran akan permasalahan yang diangkat tidak sekedar dipaksakan lewat tontonan dan imbauan, namun dibangun bersama dengan dialog aktif melalui partisipasi dan pengalaman pengunjung. Dengan ini, diharapkan dampak yang dihasilkan akan lebih efektif. 

Lokasi kasus adalah Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Wakatobi terdiri dari pulau-pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.

“Kita tahu, salah satu masalah dari peradaban modern adalah sampah. Terutama sebab mental manusia yang egois, sampah cenderung terbawa ke laut. 

Baca Juga: Apresiasi Sobat IndiHome, Telkom Jabar Gelar Reward Digital Channel

Pantai-pantai di daerah wisata seringkali kotor sebab para turis membawa sampah dan sampah yang ada di laut hanyut kembali ke tepian,” tulis Setyawan dalam catatan pameran tersebut.

Penelitian Setyawan mengantarya pada ungkapan "To tambu'e mo alaa". Sebuah istilah di Hedongka yang berarti 'Kita angkut saja ke darat', sehingga benda-benda yang ditemukan di pinggir pantai tidak hanyut kembali. 

Lebih lanjut Setyawan memaparkan dalam proyek bernama Hedongka Project, anak-anak muda Komunitas Katutura dari Tomia, Wakatobi, melakukan aktivitas Hedongka, menyisir pantai, memungut sampah-sampah plastik.

“Mereka menuruti prinsip Hedongka soal memanfaatkan barang-barang hasil pungutan itu, namun tidak dengan membuatnya jadi barang untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan dijadikan sebagai kerajinan dan karya seni. Katutura percaya bahwa semua kemungkinan dan upaya menekan jumlah sampah yang masuk ke Wakatobi mesti dilakukan, sekecil apapun itu,” tulisnya.

Baca Juga: Sepele Tapi Luar Biasa, Ini Manfaat Istirahat Akhir Pekan bagi Tubuhmu

Sebagai informasi, Parabhose dalam bahasa setempat berarti oleh-oleh. Melalui istilah tersebut Setyawan mengalih-wahanakan prinsip Hedongka, mengemasnya dengan memanfaatkan media interaktif, menghubungkannya dengan generasi terkini.

Melalui alih wahana ini, prinsip Hedongka dihadirkan ulang melalui simulasi digital, sehingga dapat dialami sendiri oleh pengunjung.

Pendekatan ini tidak hanya menjangkau lintas generasi, juga memungkinkan prinsip itu bergaung di ruang-ruang yang jauh dari Tomia Wakatobi.

“Kiranya itulah sebuah ‘kampanye’ yang ‘artistik dan (semoga) "berdampak’,” tutup catatan Setyawan. **

Editor : Marshal Deru Bumi

Kisah Zoo Keeper, Merawat Hewan Sepenuh Hati, dari 'Asia' hingga 'Afrika'

Nikmatnya Jus Ramah Lingkungan di Akkar Juice Bar Yogyakarta